Boeing Jadikan Program Offset Dukung Industri Pertahanan Indonesia

JAKARTA -- Salah satu aspek penting dalam kerja sama pertahanan adalah skema offset, yang memberikan manfaat ekonomi jangka panjang bagi negara mitra. Boeing pun menempatkan program offset sebagai instrumen strategis dalam pengembangan kapabilitas industri pertahanan Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan teknologi. “Kami siapkan offset untuk Indonesia, sebagimana digariskan oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia,” kata Randy Rotte, Regional Director for India, Asia, and Pacific, Boeing Defense, Space & Security.
Sebagaimana diketahui, pada Agustus 2023, Indonesia dan Boeing menandatangani MoU atau Nota Kesepahaman pembelian 24 pesawat tempur F15EX. Ditanya tentang kemungkinan kerja sama yang ditawarkan Boeing pada Indonesia terkait MoU tersebut, Randy mengatakan, salah satu fokus utama Boeing dalam offset tidak langsung adalah pengembangan kapabilitas STEM (science, technology, engineering, and mathematics) di negara mitra.
"Melalui kerja sama dengan sekolah dan universitas, Boeing membantu menciptakan ekosistem pendidikan yang mampu mencetak talenta-talenta baru di bidang teknologi tinggi," kata Rotte dalam seminar yang diadakan Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) dan Indonesia Defense Magazine (IDM), yang berjudul "Optimizing the Defense Industry through Technology Transfer (ToT) and Research and Development (RnD)", di sela-sela Indo Defence 2024, Kamis (12/6/2025)
Selain pendidikan, Boeing juga mendukung pengembangan industri lokal melalui kegiatan MRO (maintenance, repair, and overhaul). "Ini mencakup pelatihan teknisi, pendirian fasilitas pemeliharaan, dan dukungan logistik, agar negara mitra mampu merawat sistem senjatanya sendiri tanpa ketergantungan penuh pada luar negeri. Bahkan, dengan peningkatan kemampuan tersebut, peluang ekspor jasa pemeliharaan juga terbuka lebar," jelas Rotte.
Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan (Sesbalitbang Kemenhan) Marsma TNI S Arief Hardoyo sangat tidak percaya dengan konsep transfer of technologi (ToT) dalam pembelian pesawat tempur. Dia mengibaratkan, jika sebuah negara membeli lima atau 10 unit jet tempur maka negara produsen bakal mustahil membagikan teknologi yang dibutuhkan kepada konsumen.
Logikanya, sambung dia, apabila pembeli sudah mengusai teknologi pembuatan pesawat terbang maka mereka tak perlu lagi membeli produk tersebut ke depannya. Hal itu jelas malah membahayakan masa depan industri pertahanan negara produsen. "Pengalaman saja kita beli F-16 diberikan offset saja sudah bagus, bisa dikerjakan di Indonesia. Begitu minta ToT, tidak masuk akal, yang benar kita kuasai dan curi ilmu dari mereka," kata Arief
Menurut dia, ToT bisa terjadi jika kondisinya seperti India yang membeli jet tempur Sukhoi dari Rusia dalam jumlah banyak. Dengan begitu, kata Arief, produsen jet tempur Sukhoi bisa memberikan sebagian data kepada India untuk pengembangan operasi armada yang digunakan. "Kalau Indonesia, misal beli dua skuadron F16, itu saya tak yakin ada ToT," ucap Arief.
Direktur Produksi PT Dirgantara Indonesia (PT DI) Dena Hendriana menjelaskan, proses ToT dan research and development (RnD) merupakan satu bagian saja dalam sebuah fase pengembangan pesawat. Menurut dia, ada satu lagi aspek yang lebih diperlukan, yaitu sertifikasi.
Dalam pembuatan dan pengembangan pesawat, tidak cukup bagi PT DI hanya mendapatkan ToT dan RnD. "Nah, sertifikasi itu sangat mahal karena banyaknya aspek yang diperlu dipelajari dan dites. Dan dites ini mahal. Tak cukup sampai TOT dan ROD, perlu sampai pemenuhan sertifikasi," kata Dena.
Staf Transfer Teknologi dan Ofset KKIP Sena Maulana menjelaskan, kebijakan transfer teknologi itu tak pernah bisa dilakukan oleh siapa pun. Dia pernah terlibat dalam proses ToT produk alat utama sistem senjata (alutsista) yang berujung kegagalan. "ToT sudah dicoba sekeras apapun tak pernah bisa," kata Sena.
Dia membagikan salah satu pengalaman ketika Kemenhan membeli kendaraan tempur (ranpur) 6x6 dari Korea Selatan. Padahal, menurut Sena, PT Pindad sebenarnya sudah buat membuat ranpur Anoa. "Kenapa harus masih beli? Ini konon karena kita beli kendaraan bisa berenang, kita tak bisa buat kendaraan tempur seberat itu untuk bisa berenang. Akhirnya kita beli dari Korea," kata Sena.
Selama tinggal di Korsel untuk belajar memahami produksi ranpur 6x6, ia hanya belajar teorisaja tentang ranpur amfibi. Ketika ingin membongkar ranpur maka ia dan tim kesulitan memasangnya lagi. "Terbukti tiga bulan saya tinggal bulan di Korsel hampir tidak ada, almost nothing, Korea hanya memberi secara teori tentang amfibi, padahal merakit di Indonesia sudah bisa,” kata Sena.
Sena melanjutkan, karena tak ingin pulang dengan tangan kosong, ia dan delegasi PT Pindad akhirnya memilih belajar etos kerja dari warga Korsel. Dia mendapati, pekerja lokal Korsel sangat menghargai waktu dan ketika jam istirahat selesai, mereka langsung melanjutkan pekerjaannya."Mereka selesai makan, langsung berdiri. Betapa waktu sangat berharga, orang Korea sangat menghargai waktu," kata Sena.
Peneliti RSIS Singapura Adhi Priamarizki menyoroti tentang berbagai kerja sama triple helix yang dilakukan oleh Singapura. Ia menyoroti pentingnya embentukkan ekosistem kondusif untuk industri pertahanan yang tentunya membutuhkan tiga faktor yang saling menunjang yaitu regulasi, birokrasi, dan insentif.
Menurut Adhi, salah satu situasi yang pentingnya adalah sentralitas Kementerian Pertahanan, khususnya KKIP yang diantaranya menjadi titik temu komunikasi antara pendana, pengguna, pembuat dan pengembang. Ia kembali menggarisbawahi pernyataan Dena bahwa dibutuhkan sebuah lembaga riset terpusat khusus untuk pertahanan.